BANYUWANGI - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi, menggelar rapat koordinasi bersama seluruh komponen dalam rangka pencegahan kekerasan terhadap anak.
Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani mengatakan, persoalan kekerasan terhadap anak menjadi atensi. Menurutnya, butuh kolaborasi semua pihak untuk mencegahnya.
Peran mulai dari pemerintahan, aparat penegak hukum, lembaga pendidikan, hingga kelompok masyarakat sangat dibutuhkan di situ.
"Mari bersama-sama berkolaborasi dan bersinergi menyelesaikan masalah ini. Tidak bekerja sendiri-sendiri. Tidak bergerak sendiri-sendiri," kata Ipuk pada rakor yang berlangsung di Pendopo Sabha Swagata Blambangan, Selasa (14/2/2023).
Rakor itu diikuti oleh para pimpinan lembaga dan satuan kerja perangkat daerah di Banyuwangi. Beberapa di antaranya, yakni pimpinan Kantor Kementerian Agama, Pengadilan Agama, Polresta, Kejaksaan, Kodim, Lanal, DPRD, dan seluruh SKPD terkait di Banyuwangi.
Para pimpinan lembaga itu juga memaparkan berbagai rencana aksi untuk mencegah kasus kekerasan seksual.
Menurut Ipuk, Banyuwangi telah memiliki Peraturan Daerah tentang Kota Ramah Anak. Perda itu salah satunya berisi regulasi pencegahan kasus kekerasan anak. Baik kekerasan verbal maupun seksual.
"Secara regulasi kami sudah punya. Tapi pelaksanaannya belum sampai di tingkat bawah. Maka dari itu, saya mendorong semua pihak untuk berkolaborasi melaksanakan berbagai aksi," tambah Ipuk.
Pemkab Banyuwangi tengah menyusun formula yang tepat untuk mencegah risiko kekerasan terhadap anak. Langkah terdekat, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana akan menyusun rencana aksi lanjutan.
"Yang disusun adalah apa saja yang bisa dilakukan stakeholder di Banyuwangi untuk menghindari kejahatan-kejahatan, baik kejahatan seksual maupun lainnya," ucap Ipuk.
Ia mengatakan, perlindungan terhadap anak adalah hal mutlak. Mereka harus dilindungi dari berbagai risiko yang berpotensi merusak masa depannya.
Ipuk juga merasa prihatin dengan adanya kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Banyuwangi.
Sejak awal tahun, rentetan kasus kekerasan terhadap anak terjadi di Bumi Blambangan. Mulai dari kasus pencabulan hingga pemerkosaan.
Kekerasan seksual terhadap anak, menurut Ipuk, sudah dalam taraf memprihatinkan. Apalagi, beberapa pelakunya adalah orang-orang yang paham agama, kebijakan, dan hukum.
Beberapa tersangka kasus tersebut termasuk orang-orang yang mestinya membimbing dan melindungi para korban.
Ipuk berharap, para pelaku kekerasan anak di Banyuwangi dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ia tak menginginkan kasus kekerasan anak yang diselesaikan secara kekeluargaan.
"Itu mungkin bisa menyelesaikan secara hubungan kemanusiaan. Tapi tetap, trauma kepada anak, bekas, atau luka yang diterima anak akan berbekas sangat panjang," kata Ipuk.
Upaya pencegahan kasus kekerasan anak juga dilakukan dengan mencegah pernikahan dini.
Kepala Kantor Kemenag Banyuwangi Amak Burhanudin mengatakan, pihaknya telah menjalankan aturan pembatasan usia pernikahan yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang 6/2019 tentang Perkawinan. UU tersebut mengatur batas maksimal usia menikah 19 tahun.
"Kalau ada yang mengajukan pernikahan di bawah usia itu, akan kami tolak. Untuk pernikahan di bawah anak, membutuhkan dispensasi dari Pengadilan Agama," kata dia.
Di Pengadilan Agama, permohonan dispensasi itu bisa disetujui atau ditolak. Ada beberapa pertimbangan untuk memutuskan itu.
Amak mengatakan, perkawinan anak harus dicegah. Soalnya, perkawinan anak bisa memicu berbagai masalah di kemudian hari. Salah satunya masalah kekerasan.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Muhammad Nurul Yaqin |
Editor | : Bahrullah |
Komentar & Reaksi