BANYUWANGI - Warga Desa Labanasem, Kecamatan Kabat, Banyuwangi, Siti Arofah (40), kehilangan tanah seluas 3.600 meter persegi, diduga karena menjadi korban mafia tanah.
Tanah warisan orang tuanya itu secara tiba-tiba berpindah tangan dan kini dikuasai oleh seorang bernama Idrus Muttaqin, yang ternyata memiliki sertifikat tanah berada di objek lahan milik Arofah.
Kejadian itu pun memicu sengketa. Padahal sebelumnya, Arofah merasa tidak pernah menjual ke siapa pun. Sehingga Arofah pun tidak tinggal diam.
Guna menyelamatkan tanah warisan orang tuanya itu, Arofah mengambil upaya hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya.
Alhasil, hakim PTUN Surabaya terpaksa harus turun ke lokasi sengketa yang berada di Desa Labanasem, Jumat (21/10/2022). Agenda sidang ditempat itu, hakim hanya mengecek lokasi sengketa.
"Kedatangan kami ke lokasi untuk memastikan lahan sengketa, serta mengumpulkan keterangan dari penggugat, tergugat maupun pihak intervensi. Sebagai pertimbangan sebelum hakim mengambil kesimpulan dalam perkara tersebut," ucap anggota Hakim PTUN, Agus Effendi.
Mujiono, Kasi Sengketa BPN selaku pihak tergugat menuturkan, jika lahan yang menjadi objek sengketa memiliki luas 2.400 meter persegi. Data tersebut, katanya, sudah sesuai dari data di BPN Banyuwangi.
"Lahan tersebut diajukan oleh Idrus Muttaqin, sedangkan pihak penggugat mengklaim juga itu tanah milik penggugat," jawabnya singkat.
Pihak intervensi, Idrus Muttaqin yang merupakan pemilik sertifikat hak milik (SHM) tanah seluas 2.400 meter persegi itu, mengaku sudah membeli tanah tersebut.
Tahan seluas 3.600 meter persegi itu, dibelinya dari Siti Arofah seharga Rp 100 juta. "Sudah ada akta jual beli, saat itu masih berbentuk petok dan akhirnya saya buat sertifikat atas nama saya. Namun, yang menjadi sertifikat hanya 2.400 meter persegi saja," bebernya.
Idrus menambahkan, jika dirinya tidak mengetahui jika lahan tersebut diklaim oleh orang lain. Dirinya juga mengetahui, jika pengurusan sertifikat tersebut melalui salah satu notaris di Kabupaten Banyuwangi.
"Saya memang tidak tau batasnya, yang saya tau hanya membelinya serta membuat sertifikat tanah tersebut," ungkapnya.
Penggugat Siti Arofah melalui kuasa hukumnya, Subhan Fasrial mengatakan, bahwa lahan atau objek sengketa itu merupakan milik kliennya. Bahkan, tidak pernah dijual oleh kliennya.
"Tidak pernah ada jual beli lahan, akta jual beli tersebut palsu. Karena klien kita tidak pernah tanda tangan jual beli," cetusnya.
Subhan menjelaskan, bahwa sebenarnya lahan seluas 3.600 meter persegi yang masih berbentuk petok tersebut hanya di pinjamkan uang kepada Idrus Muttaqin senilai Rp 40 juta. Sesuai perjanjian keduanya yaitu jual beli kelapa yang ada di atas tanah tersebut.
"Hanya perjanjian saja yang menerangkan bahwa ada jual beli kelapa, tetapi di awal tahun 2022 lalu malah ada sertifikat tanah atas nama Idrus Muttaqin tersebut," sambungnya.
Oleh karenanya, jelas Subhan, pihaknya menduga ada mafia tanah yang bermain dalam proses pembuatan sertifikat tersebut. Lantaran, saat BPN Banyuwangi melakukan pengukuran maupun menerbitkan sertifikat tidak pernah menghadirkan pemilik tanah yang berbatasan dengan lahan tersebut.
"Sebenarnya juga sudah ada surat penolakan dari pihak Pemdes Labanasem saat proses pembuatan sertifikat yang diajukan Idrus Muttaqin, tetapi entah kenapa sertifikat tetap muncul," tegas Subhan.
Subhan juga menyimpulkan saat hakim PTUN Surabaya ke lokasi. Pemilik SHM tidak bisa menjelaskan luasan lahan yang miliknya. Malah ada perbedaan lahan yang dijelaskan olehnya dan BPN Banyuwangi.
"Kami harapkan hakim juga dapat menilai bahwa ada kejanggalan dalam proses penerbitan sertifikat tersebut, sehingga diduga kuat adanya mafia tanah," tutupnya.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Muhammad Nurul Yaqin |
Editor | : M Ainul Yaqin |
Komentar & Reaksi