SUARA INDONESIA - Pada 20 November 2024, Amerika Serikat menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menangguhkan resolusi yang menyerukan gencatan senjata tanpa syarat antara Israel dan Hamas di Gaza.
Tindakan ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, mengingat dampak kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perang yang telah berlangsung sejak Oktober 2023. Konflik ini telah menewaskan hampir 44.000 orang di Gaza, sebagian besar dari kalangan warga sipil, serta menciptakan krisis kemanusiaan yang besar.
Resolusi yang diajukan PBB meminta gencatan senjata segera, pembebasan sandera tanpa syarat, dan akses bantuan kemanusiaan yang aman untuk Gaza. Namun, Amerika Serikat berpendapat bahwa resolusi tersebut hanya akan menguntungkan Hamas dan menghalangi upaya diplomasi lebih lanjut. Duta Besar AS untuk PBB, Robert Wood, menegaskan bahwa gencatan senjata yang tidak disertai dengan pembebasan sandera akan memperburuk keadaan dan menguatkan posisi Hamas, yang dianggap tidak berkomitmen untuk bernegosiasi.
Bagi Israel, resolusi tersebut dianggap sebagai sebuah pengkhianatan, terutama karena tidak mencantumkan syarat-syarat yang diinginkan oleh negara tersebut, yaitu pembebasan sandera sebagai bagian dari gencatan senjata. Sebaliknya, pihak Palestina dan sejumlah negara di Dewan Keamanan menganggap resolusi yang diveto AS ini tidak cukup kuat untuk menekan Israel dan memastikan perlindungan bagi warga sipil Palestina yang terjebak dalam pertempuran.
Konflik Israel-Hamas di Gaza telah menyebabkan kehancuran besar di wilayah tersebut. Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan Gaza, jumlah korban tewas akibat serangan yang dimulai pada 7 Oktober 2023 telah mencapai hampir 44.000 orang. Sebagian besar dari mereka adalah warga sipil yang terjebak di tengah serangan udara dan pertempuran darat. PBB memperingatkan bahwa krisis kemanusiaan ini dapat berlarut-larut dan berdampak jangka panjang bagi generasi mendatang, terutama jika bantuan internasional tidak bisa disalurkan dengan aman.
Hampir seluruh populasi Gaza, yang berjumlah 2,4 juta orang, telah mengungsi. Meskipun banyak negara yang menyerukan bantuan kemanusiaan, akses ke Gaza tetap terbatas karena blokade yang diterapkan oleh Israel dan penghalang yang diciptakan oleh konflik bersenjata.
Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Israel, telah beberapa kali menggunakan hak vetonya dalam upaya menjaga kepentingan Israel di PBB. Namun, tindakan ini juga mengundang kritik internasional, terutama dari negara-negara yang mendukung Palestina dan komunitas internasional yang mengutuk kekerasan terhadap warga sipil. PBB sendiri menghadapi kesulitan untuk mencapai konsensus dalam merumuskan resolusi yang dapat diterima oleh semua pihak. Menurut beberapa diplomat, perpecahan di Dewan Keamanan disebabkan oleh perbedaan kepentingan antara negara besar seperti AS, Rusia, dan China.
Pasca-veto ini, ada harapan bahwa perubahan politik di Amerika Serikat, terutama setelah pemilu 2024, dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri negara tersebut. Beberapa diplomat optimis bahwa Presiden Joe Biden, yang telah menunjukkan fleksibilitas dalam kebijakan luar negeri di masa lalu, mungkin akan lebih terbuka untuk merundingkan solusi yang lebih mendukung gencatan senjata dan perlindungan hak asasi manusia di Gaza.
Namun, dengan situasi yang semakin memburuk, dan dengan tekanan internasional yang terus meningkat, jalan menuju perdamaian dan gencatan senjata yang abadi tampaknya masih jauh. Bagi Gaza, masa depan yang penuh ketidakpastian masih menjadi tantangan besar.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Aditya Mulawarman |
Editor | : Imam Hairon |
Komentar & Reaksi