BANYUWANGI- Gabungan Perusahaan Perkebunan (GPP) Banyuwangi memastikan sebanyak 35 perkebunan di kabupaten yang berada di ujung timur Pulau Jawa ini telah mengantongi izin resmi.
Ketua GPP Banyuwangi Benny Hendricrianto mengatakan izin resmi dimaksud berupa Hak Guna Usaha (HGU). Sehingga, puluhan perkebunan itu tidak perlu diragukan lagi dalam keabsahan atas pengelolaan lahan milik negara.
"Dari puluhan perkebunan ini, 12 diantaranya dibawah naungan PTPN XII termasuk pabrik gula PT Industri Gula Glenmore (IGG) dan 23 perkebunan dikelola oleh swasta, termasuk PT Perkebunan dan Dagang Bumi Sari Maju Sukses," bebernya.
Benny menjelaskan, HGU merupakan dasar orang atau perusahaan untuk mengelola sumber daya diatas tanah Negara.
"Sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan secara resmi, seluruh perkebunan yang masuk sebagai anggota GPP Banyuwangi sudah dipastikan memiliki izin resmi," tegasnya.
Masih kata dia, pemegang HGU bisa menjadi dasar untuk mengelola sumber daya yang ada di atas tanah negara. Dalam kepengurusannya, setiap HGU memiliki perbedaan atau bisa jadi ada bentuk kesamaan. Baik itu lama penguasaan lahan maupun luasan lahan yang bisa dikelola.
"Untuk HGU berlaku selama 25 tahun dan bisa diperpanjang lagi apabila masanya habis," terangnya.
HGU sendiri, masih kata Benny, merupakan izin resmi untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu yang digunakan untuk usaha pertanian, perikanan, atau peternakan.
"Pemegang HGU secara sah memiliki hak secara atas tanah yang diputuskan secara resmi oleh Negara," pungkasnya.
Sementara itu, Kepala BPN Banyuwangi, Budiono membenarkan bahwa jika suatu perusahaan yang hendak mengelola lahan milik Negara memang harus memiliki HGU terlebih dahulu. HGU tersebut, tentunya sebelum perusahaan berdiri atau menempati lahan Negara.
"Pastinya seluruh perkebunan sudah memiliki HGU resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau Badan Pertanahan Nasional (BPN)," tegasnya.
Budiono menambahkan, sebuah perusahaan perkebunan tentunya tidak akan berani menempati lahan Negara tampa izin. Lantaran jika menyalahi aturan dengan menguasai lahan negara, maka akan dikenakan pidana.
"Tentu setiap perkebunan memiliki HGU dengan luasan lahan sesuai ukurannya masing-masing, sesuai luasan lahan yang sudah tercantum terang pada HGU mereka," terangnya.
Budiono menjelaskan, untuk mendapatkan HGU sendiri memang ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama adalah menentukan lokasi lahan disambung dengan pengurusan izin lokasi, setelah itu melakukan pembebasan lahan dengan catatan jika ada masyarakat harus melakukan ganti rugi.
"Setelah selesai, maka persyaratan tersebut bisa dimohonkan kepada BPN setempat, dengan memenuhi beberapa syarat berupa amdal, status perpajakan diselesaikan atau dibayar dan kembali dilaporkan kepada BPN setempat," paparnya.
Jika dokumennya sudah lengkap, maka BPN akan membentuk Panitia yang terdiri dari pemerintah daerah dan otoritas pertanahan nasional yang bertugas lakukan pengecekan lapangan, tapal batas hingga memeriksa berkas.
Jika berkas lengkap, maka panitia mengeluarkan risalah yang kemudian akan dibawa ke kantor wilayah (kanwil) BPN untuk proses penerbitan fatwa risalah tersebut. Risalah ini, nantinya menjadi syarat pengajuan HGU kepada Menteri ATR.
"Setelah dinyatakan lengkap oleh menteri, maka dikeluarkan SK HGU. SK HGU dibawa lagi kantor kabupaten, baru disertifikat. Jadi yang mengeluarkan kepala kantor berdasarkan SK Menteri ATR," jelasnya.
Budiono menambahkan, jika memang dikemudian hari HGU dipersoalkan oleh masyarakat. Maka, masyarakat harus memahami terlebih dahulu apa dasar dalam menyoal HGU tersebut.
"Tentunya dalam penerbitan HGU sudah melalui prosedur yang benar. Sehingga, jika memiliki dasar yang kuat diperbolehkan untuk mengajukan gugatan atau menguji keabsahannya di pengadilan," tutupnya. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Muhammad Nurul Yaqin |
Editor | : Imam Hairon |
Komentar & Reaksi