BANYUWANGI, Suaraindonesia.co.id - Setiap memasuki bulan haji atau menjelang Hari Raya Idul Adha, Banyuwangi memiliki tradisi unik setiap tahunnya.
Di Desa Kemiren, Glagah, Banyuwangi, misalnya, warga dari suku Osing ramai-ramai mengeluarkan kasur dari kamar dibawa ke depan rumah masing-masing. Mereka kemudian menjemur kasur yang memiliki warna yang seragam, yakni merah dan hitam.
Tradisi Mepe Kasur (menjemur kasur) sepanjang jalan Desa Kemiren merupakan rangkaian kegiatan rutin tahunan bersih desa setempat setiap bulan Dzulhijjah. Ritual ini dilakukan sejak pagi hingga siang hari.
Ribuan kasur berwarna seragam ini dijemur berjejer di depan rumah warga. Terlihat sesekali warga membersihkan debu di kasur dengan cara memukul-mukul kasur tersebut dengan penebah dari rotan.
Warga lingkungan Sukosari, Kemiren menceritakan makna dibalik warna kasur. Mbah Ning mengungkapkan warna merah memiliki arti berani, dan hitam memiliki arti langgeng.
"Warna merah hitam itu memiliki makna berani dan langgeng. Semisal dalam berumah tangga harus berani dan langgeng dalam menjalani," ungkap Mbah Ning, Kamis (22/06/2023).
Sementara Ketua Adat Kemiren, Suhaimi, mengaku warga dari suku Osing beranggapan kasur dianggap sebagai benda yang sangat dekat dengan manusia sehingga wajib dibersihkan agar kotoran yang ada di kasur hilang.
"Proses menjemur kasur berlangsung sejak pagi hingga menjelang siang hari. Begitu matahari terbit, kasur segera dijemur di depan rumah masing-masing sambil membaca doa dan memercikkan air bunga di halaman. Tujuannya agar dijauhkan dari bencana dan penyakit," kata Suhaimi.
Setelah matahari tepat diatas kepala atau sekitar pukul 12.00 WIB, semua kasur kembali digulung dan dimasukkan. Konon jika tidak segera dimasukkan hingga matahari terbenam, kebersihan kasur ini akan hilang dan khasiat untuk menghilangkan penyakit pun tidak akan ada hasilnya.
"Kalau sampai sore ya nanti khasiatnya akan menurun. Apalagi kalau kemalaman. Bisa ndak sehat," pungkas Suhaimi.
Kasur-kasur berwarna merah dan hitam ini memang mirip. Namun yang berbeda adalah ukuran dari kasur tersebut. Jika semakin tebal, menunjukkan jika sang pemilik adalah orang berada di desa tersebut.
Setiap rumah atau keluarga dipastikan memiliki kasur yang serupa. Ini dikarenakan, setiap keluarga yang menikah pasti dibuatkan kasur oleh orangtuanya.
Setelah memasukkan kasur ke dalam rumah masing-masing, warga Using pun melanjutkan tradisi bersih desa ini dengan arak-arakan barong. Barong diarak dari Ujung Desa menuju ke batas akhir desa. Setelah arak-arakan Barong, masyarakat Using melanjutkan berziarah ke Makam Buyut Cili yang diyakini masyarakat sebagai penjaga desa.
Puncaknya, saat warga bersama-sama menggelar selamatan Tumpeng Sewu pada malam hari. Semua warga mengeluarkan tumpeng khas warga Using, yaitu pecel pitik alias ayam panggang dengan parutan kelapa. Kekhasan acara ini juga ditambah akan dinyalakan obor di setiap depan pagar rumah warga.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Muhammad Nurul Yaqin |
Editor | : Irqam |
Komentar & Reaksi