BANYUWANGI- Lembaga Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (Arupa) meluncurkan buku berjudul 'Kemelut Tanah Hutan', Rabu (29/6/2022) di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi.
Direktur Arupa Edi Suprapto menyebut, dalam buku yang ditulis tim Arupa ini, menggambarkan bagaimana situasi konflik agraria yang ada di Banyuwangi.
Dibuku ini pihaknya menyampaikan latar belakang sejarah dari situasi di Banyuwangi. Berkaitan dengan konflik sosial antara masyarakat dengan perhutani.
"Buku ini bisa dibilang dokumentasi proses kita pendampingan atau bekerja di wilayah Banyuwangi. Terutama dalam tiga tahun terakhir mendorong implementasi program dari pemerintah reforma agraria dan perhutanan sosial," kata Edi.
Edi mengatakan, pihaknya menemukan kasus di lapangan. Dimana beberapa desa berkonflik antara perhutani dan masyarakat berkaitan dengan status tanah garapan lahan pertanian, serta pemukiman masyarakat dengan kehutanan.
"Masyarakat menggarap disitu mengakui tanah itu sudah turun temurun, tapi disaat bersamaan negara dalam hal ini bidang kehutanan dan perhutani juga mengklaim sebagai kawasan hutan. Sehingga masyarakat memiliki keterbatasan dalam mengoptimalkan tanah yang diklaim oleh mereka," ucap dia.
Setidaknya ada lima bab dalam buku 'Kemelut Tanah Hutan'. Edi sedikit menjelaskan beberapa bab yang ada di buku itu.
Bab pertama menjelaskan tentang sejarah konflik bagaimana perjalanan penguasaan tanah di Banyuwangi, dari zaman kolonial sampai sekarang.
Bab dua, pro kontra terhadap kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial, serta bagaimana pihak di daerah itu menginterpretasikan dan mengimplementasikan kebijakan tersebut.
"Perhutani dan juga beberapa kelompok masyarakat pada awalnya menolak kebijakan itu, tapi beberapa kelompok masyarakat dan LSM itu mendukung," katanya.
Edi melanjutkan, namun di level lapangan perhutani menggalang kekuatan dari kelompok LMDH, untuk menolak implementasi perhutanan sosial.
"Sedangkan masyarakat yang menerima dan mau mendukung juga berproses. Benturan di lapangan ini yang coba kami gambarkan di buku ini, selama kami kerja di Banyuwangi selatan, tepatnya di Desa Kedungasri, Desa Sumberasri, dan beberapa desa lain di sana," sebutnya.
Masih kata Edi, tujuan peluncuran buku ini pihaknya ingin masyarakat Banyuwangi untuk mendiskusikan bersama konflik agraria terutama di sektor kehutanan.
"Kita juga ingin itu diangkat dan menjadi agenda pemerintah, agenda masyarakat juga untuk menyelesaikan. Serta melibatkan kelompok masyarakat, LSM, perguruan tinggi, untuk mencari jalan keluarnya.
Sedangkan yang bersifat teknis, Edi menyebut, buku ini bisa menjadi referensi bagi pihak-pihak terkait. "Jika mau ke proses perhutanan sosial apa yang harus dilakukan, sudah diterakan di dalam buku ini," pungkasnya.
Sebagai informasi, peluncuran buku 'Kemelut Tanah Hutan' dihadiri Dekan Fakultas Pertanian dan Perikanan Untag Banyuwangi, Ervina Wahyu Setyaningrum, perwakilan Balai Taman Nasional Alas Purwo, Perhutani Banyuwangi Selatan, BPN, beberapa kepala desa, masyarakat, serta stakeholder lainnya. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Muhammad Nurul Yaqin |
Editor | : |
Komentar & Reaksi