SUARA INDONESIA BANYUWANGI

Telah Ada Sejak Abad 11 Masehi, Naskah Kuno Lontar Yusuf Banyuwangi Masih Terawat dengan Baik

Muhammad Nurul Yaqin - 09 March 2023 | 14:03 - Dibaca 4.35k kali
Budaya Telah Ada Sejak Abad 11 Masehi, Naskah Kuno Lontar Yusuf Banyuwangi Masih Terawat dengan Baik
Bentuk asli Manuskrip Kuno Lontar Yusuf Banyuwangi, masih terawat dengan baik di Museum Blambangan. (Muhammad Nurul Yaqin/suaraindonesia.co.id).

BANYUWANGI - Manuskrip Kuno Lontar Yusuf Banyuwangi masih terjaga dengan baik. Naskah Kuno Lontar Yusuf tersimpan rapi dan terawat di Museum Blambangan yang terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kelurahan Taman Baru.

Manuskrip kuno Lontar Yusuf dari Banyuwangi mengisahkan sebuah puisi naratif tentang kehidupan salah seorang rasul dalam Islam yakni Nabi Yusuf.

Dalam serat yang tersimpan di Museum Blambangan, berisi tembang atau lagu Asmaradana di bagian manggala atau bagian pengantar yang mengisahkan tentang fase kehidupan asmara Nabi Yusuf.

Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi, Choliqul Ridho mengatakan, Lontar Yusuf ada sejak kebudayaan Islam masuk ke pulau jawa kurang lebih abad 11 Masehi.

Lontar Yusuf ditulis di pelepah daun lontar dengan menggunakan Aksara Jawa hingga akhirnya menjadi huruf Arab Pegon yang kerap digunakan untuk Mocoan Lontar Yusuf.

"Untuk tahun kapan manuskrip kuno itu ada, belum ada yang tau pasti. Namun Lontar Yusuf sampai saat ini masih terjaga dengan baik," jelas Ridho kepada wartawan, Kamis (9/3/2023).

Arkeolog sekaligus Kurator Museum Blambangan Banyuwangi, Bayu Ari Wibowo menyebutkan, serat dalam manuskrip kuno itu terdapat tembang Macapat Dhandhanggula. 

Tembang menggambarkan kehidupan pasangan baru sedang berbahagia karena apa yang dicita-citakan telah digapainya.

"Sementara hanya itu tembang yang masih diketahui dan dipelajari sampai saat ini," terangnya.

Sementara Manuskrip Lontar Yusuf yang dipakai oleh masyarakat Osing (penduduk suku asli Banyuwangi) menggunakan Arab Gundul atau Pegon, terdapat 12 pupuh atau puisi, 593 bait dan 4.366 larik. 

Dalam naskah tersebut terdapat empat jenis pupuh yaitu Kasmaran, Durma, Sinom dan Pangkur. Setiap tembang memiliki artinya masing-masing yang menggambarkan tentang kehidupan manusia.

Orang hidup didunia harus paham tentang empat perkara. Yang pertama pupuh Kasmaran atau fase dimana manusia menimbulkan rasa asmara jatuh hati terhadap lawan jenis. 

Perkara kedua yaitu Sinom artinya sek enom atau masih muda pada saat remaja masih memiliki banyak waktu luang, tugas mereka adalah menuntut ilmu sebaik mungkin dan setinggi-tingginya agar kelak bisa menjadi bekal kehidupannya.

Kemudian perkara ketiga yaitu Durmo artinya mendarmabaktikan apa yang harus dilakukan seperti mengajarkan agar manusia dapat saling memberi dan melengkapi satu sama lain dengan saling tolong menolong, welas asih, dan rela memberikan bantuan kepada siapa saja. 

Perkara terakhir yaitu Pangkur, dengan artinya waktunya mungkur atau sudah waktunya kembali.

Secara lengkap 12 pupuh atau tembang tersebut berisi Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Kasmaran, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh dan Pucung yang mengisahkan awal mula manusia mulai dari alam ruh hingga meninggal dunia.

"Saat ini mocoan Lontar Yusuf kembali digalakkan, tidak cuma di Desa Kemiren yang dilaksanakan semalaman dari salat Isya hingga usai sebelum waktu salat Subuh. Ada pula di Desa Alasmalang, Desa Mondoluko dan Desa Tamansuruh," tukas Ridho.

Rencananya Mocoan Lontar Yusuf akan dimasukkan agenda Banyuwangi Festival supaya tradisi mocoan Lontar Yusuf tetap terjaga, dilestarikan dan turunkan dari generasi ke generasi.

"Semoga bisa segera terealisasi," tegas Ridho.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Muhammad Nurul Yaqin
Editor : Bahrullah

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya

Featured SIN TV