BANYUWANGI- Sejumlah kampanye hitam atau black campaign mulai bermunculan jelang Pilkada Banyuwangi 2020.
Rektor Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi, Andang Subaharianto menilai, kampanye hitam justru kurang efektif digunakan untuk kepentingan politik.
"Kampanye hitam kalau dipakai jualan, tidak laku dan tidak strategis. Munculnya kampanye hitam bisa jadi juga karena ketidakpercayaan diri dalam berkompetisi secara sehat," cetus praktisi pendidikan ini, Senin (16/11/2020).
Menurutnya, masyarakat Banyuwangi sudah cerdas dan bisa melihat secara jernih serta rasional. Oleh karena itu bukan waktunya lagi menggunakan kampanye hitam.
"Terpenting masyarakat Banyuwangi telah berpikir secara jernih dan objektif, sehingga kampanye hitam tidak laku untuk dijual," ucap Andang.
Andang mencontohkan, akhir-akhir ini bertebaran sejumlah spanduk yang mendiskriminasi dan mendiskreditkan perempuan.
Ia menilai hal ini bisa disebut sebagai kampanye hitam. Namun kampanye hitam yang mendiskriminasi dan mendiskreditkan perempuan itu justru malah tidak efektif.
"Karena banyak perempuan yang menjadi pemimpin. Ada Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang baru saja datang ke Banyuwangi juga seorang perempuan," sebutnya.
Perempuan lainnya di Jawa Timur yang menjadi pemimpin, sebut saja Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko; Wali Kota Mojokerto Ika Puspitasari; Bupati Jember Faida, dan banyak pemimpin perempuan lainnya.
"Mantan Presiden Ibu Megawati juga perempuan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah mendampingi dua Presiden, sehingga dengan fakta-fakta itu, telah menggugurkan tesis perempuan tidak bisa menjadi pemimpin. Sudah tidak musimnya lagi menempatkan perempuan hanya urusan domestik saja," lugasnya.
Andang berharap dengan mulai munculnya kampanye hitam, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Banyuwangi yang memiliki kewenangan bisa menertibkan. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Muhammad Nurul Yaqin |
Editor | : |
Komentar & Reaksi